Direktur Eksekutif Gerakan Muliakan Orang Indonesia (GeMOI), Dr. Ir. Justiani, seorang pakar kebijakan publik, mengungkapkan sejumlah masalah krusial yang dapat menghambat pembangunan di Indonesia jika pemerintahan baru Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang akan dilantik pada 20 Oktober 2024, tidak segera melakukan reformasi kebijakan.
Ia menyoroti tumpang tindih kebijakan antar kementerian yang berujung pada ketidakpastian hukum serta ketimpangan struktural, yang berpotensi semakin memperlambat kemajuan bangsa.
Salah satu kasus menonjol yang ia bahas adalah sengketa PT PTS, perusahaan sawit di Kalimantan Barat, yang berhasil memenangkan gugatan melawan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan ini terkait Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 733/Menhut-II/2014, yang menetapkan kawasan hutan yang ternyata tumpang tindih dengan Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 1994.
“Ini menunjukkan bagaimana kebijakan satu kementerian bisa berbenturan dengan kementerian lainnya, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum,” jelas Justiani.
Selain itu, Justiani menyoroti masalah serupa di sektor energi. Program bioenergi yang digagas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak selaras dengan produksi bahan baku yang dikelola oleh Kementerian Pertanian, yang menyebabkan ketidakseimbangan antara produksi dan kebutuhan energi terbarukan.
Masalah tumpang tindih ini juga terjadi antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Koperasi dan UMKM, serta Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, yang menurut Justiani justru memperumit pelayanan publik.
Tak hanya masalah birokrasi, Justiani juga menekankan adanya ketimpangan dalam pengakuan Masyarakat Adat. Menurutnya, meskipun kebudayaan Indonesia kaya akan tradisi, nilai-nilai, dan kepercayaan lokal, banyak Masyarakat Adat yang hanya disebut dalam kebijakan tanpa ada langkah konkret.
“Pengakuan terhadap Masyarakat Adat selama ini cenderung hanya menjadi formalitas, tanpa kebijakan yang nyata untuk melindungi mereka,” tambahnya.
Justiani menyerukan agar kebudayaan mencakup baik agama formal maupun tradisi Masyarakat Adat, sehingga eksistensi mereka diakui secara adil.
Ketimpangan struktural juga tampak jelas dalam alokasi anggaran. Pada 2021, Kementerian Agama menerima anggaran Rp 66 triliun, di mana 83% dialokasikan untuk pendidikan agama Islam, meninggalkan proporsi kecil untuk agama lain dan Masyarakat Adat.
“Seharusnya, nomenklatur ‘Pendidikan Islam’ diubah menjadi lebih inklusif agar mencakup seluruh agama secara setara,” kata Justiani.
Ia pun, menegaskan, perlunya reformasi birokrasi dan penyelarasan kebijakan antar kementerian agar menciptakan keadilan, efisiensi, serta melindungi kekayaan budaya dan sumber daya Indonesia.